Kisah Mobil Biru dari Kota Malang yang Semakin ‘Malang’




Sudah beberapa minggu ini Bang Ghoni menyetir mobil biru semakin lambat saja. Rasa-rasanya kecepatannya terkadang hampir menyamai pejalan kaki.
Hawa siang semakin terik. Rupanya Bang Ghoni berharap-harap ada penumpang yang naik mobil tuanya. Berhenti dan memamerkan badan mobil itu di tepi perempatan sebuah mall hampir lima belas menit.
“Hmmm..” gumam Rika mengangkat bibirnya sampai tampaknya mudah saja menguncirnya dengan karet rambut. Dasar memang tak bisa naik motor dan tak punya smartphone apa boleh buat angkot jadi pilihan satu-satunya baik untuk pergi kuliah atau sekedar mampir alun-alun kota.

**
“Dungaren telat, Rik, dolen nang ndi?” Solmet, teman sebangku Rika menyapa seusai jam kuliah. “Iyo ii, mau angkot e suuweee. Ngetem ndek cedek.e mall iku loo.. Onok meh setengah jam, sampek iso tuku ngombe barang, sampek iso mbakso barang,” timpal Rika.

“Pancet ae ngangkot Rik.. Skali-kali motoran ngunu lo cek enak.. Sesuk gak onok angkot lo Rik..” Solmet membalas. “Loh iyoo a?” “Iyoo, kate onok demo angkot se-Malang Raya menolak transportasi online.”

Wadoo. Nek ngene carane numpak opo mene aku iki. batin Rika
**
Aksi demo sopir angkota Malang September 2017

Ini adalah kali ke sekian para supir angkota Malang melakukan demonstrasi. Pernah waktu itu terjadi demonstrasi hampir sepekan berturut-turut oleh para supir angkot sampai memblokir jalan sekitar balai kota bahkan  sempat memblokade rumah walikota langsung.

Para bapak-bapak ini bukan lagi galang donasi Suriah, mereka lagi mengais sesuatu, sebut saja keadilan.

Sejak derasnya informasi, teknologi, dan globalisasi, perkembangan transportasi pun cepet berubah. Berdasarkan cerita seorang pak sopir berinisial S, angkota Malang sudah berkali-kali berubah dari kepompong menjadi kupu-kupu  roda tiga menjadi roda empat. Awalnya bemo yang sempat hits, lalu tergeser mobil suzuki carry biru kapasitas 8 orang. Ah, tapi itu kisah lama. Terakhir, bentuk angkotan kota Malang adalah mobil carry yang sampai saat ini bertahan sejak 90-an, bisa dihitung umurnya lebih tua dari saya.

Dulu, jaman 90-an kata ibu saya juga, profesi supir angkota adalah pekerjaan menjanjikan. Di tengah hiruk pikuk perkotaan dan jarang ada yang punya motor, pilihan transportasi cuma jalan kaki, becak, atau naik angkot. Jelas naik angkot lebih banyak dipilih, dan saat itu juragan angkot adalah salah satu kelas yang sangat sejahtera alias menengah ke atas.

Tapi, semua berubah ketika negara api menyerang, eh..

Maksudnya, ketika perusahaan kredit motor menyerang.. Ketika maksud pemerintah menyejahterakan rakyat dengan mempermudah transportasi justru berujung pada berbagai masalah. Tidak seperti pegadaian yang menyelesaikan masalah tanpa masalah. Ini justru beternak masalah.

Ketika kredit motor dan mobil dipermudah, ekonomi mengalami peningkatan, dan semakin hari memiliki kendaraan bermotor bukan hal yang eksklusif, bahkan dengan duit berapa pun banyak alternatif pilihan motor yang bisa dibawa pulang. Akhirnya, semakin mudah kita menjangkau area terjauh dan terpencil dengan motor kita sendiri. Apalagi di daerah pedesaan dan terpelosok yang masih jarang transportasi umum.

Hmm

Sayangnya berbeda cerita dengan kota. Keringat mengucur lebih banyak terkena panas karbon monoksida. Saraf emosional justru semakin tertekan kemacetan kota. Bahkan kotoran hidung pun rasanya penuh hanya dalam jarak 15 menit perjalanan.

Entah kenapa sekarang angkota-angkota itu tampak sebagai barang ketinggalan jaman dan bukan lagi transportasi yang nyaman. Padahal, katanya pak wali bersama ce es nya rutin memeriksa mesin dan fasilitas kendaraan, tapi fasilitas rasanya tetap gitu aja. Tak ada bedanya karna orang setinggi saya harus duduk agak jongkok di dalam angkot. Naik angkota pun rasanya seperti masuk ke dalam panggangan roti.

**

Ini bukti kalau selama ini kebijakan pemerintah belum bisa menjamin kenyamanan transportasi umum, terlebih mobil angkutan kota. Tak heran Achmad Izzul Waro, pengamat transportasi, jadi prihatin ngeliat penurunan 60% penumpang angkutan umum selama 10 tahun terakhir.

Selama ini, semua moda transportasi umum diatur oleh menteri dan dinas perhubungan, dari standar fasilitas minimum, mesin, sampek ongkos penumpang. Pertama kita ngomongin standar fasilitas minimum nih ya. Setiap 6 bulan sekali ada yang namanya uji berkala atau KIR buat semua mobil angkota sesuai peraturan Menteri Perhubungan no. 133 tahun 2015 tentang pengujian berkala kendaraan bermotor. Meski bukan satu-satunya kendaraan yang diuji secara berkala, kali ini kita akan menyoroti bagaimana mobil angkota diatur pemerintah. Dalam peraturan ini dari pasal 11, 12, dan 13 nggak kurang dari 88 aspek yang harus diuji berkala. Mulai dari tempat duduk, kaca, kapasitas mesin, kondisi rem, lampu, dan segala macamnya (Menteri Perhubungan Republik Indonesia, 2015).

Dengan pengujian yang seribet itu setiap 6 bulan sekali dan selalu mengeluarkan biaya (lihat pasal 46), sayangnya angkota masih mendapat kesan sebagai transportasi yang tidak nyaman. Sebenarnya ini terjadi karena peraturan tersebut sifatnya cuma mengatur dan mengatur tanpa memberi solusi apalagi memfasilitasi.

Pemerintah selalu mengontrol para pemilik dan penyedia mobil angkota yang sekarang notabene nya adalah rakyat kecil, terutama bagi sopir angkota yang bukan pemilik modal. Sudah mengontrol dan memalak biaya, jika tidak melakukan kontrol atau tidak sesuai standar mereka harus membayar sanksi administrasi. Akan tetapi dari sekian ratus ribu biaya yang harus mereka keluarkan setiap uji berkala, tidak ada pelatihan bagaimana tren indikator ‘kenyamanan’ transportasi terus berkembang.

Saat ini kita bandingkan dengan transportasi online yang bermunculan mulai diminati masyarakat kota karna kenyamanan fasilitas dan harganya. Dengan tarif menyesuaikan jarak dan ketersediaan sopir, penumpang bisa menikmati mobil pribadi dengan modifikasi yang ahoi dan AC yang icikiwir sepoi sepoi. Padahal, dibalik itu semua, kelebihan transportasi online dari segi administrasi, mereka bebas dari aturan pemerintah yang mengatur mobil angkota dalam trayek.

Para sopir dan penyedia transportasi online tidak dikenakan aturan uji berkala, sehingga mereka otomatis tidak harus menyisihkan sekian rupiah laba mereka. Selain itu, karna mereka bebas trayek dan bebas aturan pemerintah, mereka tidak harus memodifikasi mobil mereka supaya bisa seragam. Dari sini uda bisa kita hitung kasar, berapa juta uang yang bisa disimpen dengan tidak memodifikasi mobil. Belum lagi ketika beroperasi, transportasi online tidak harus membayar ijin trayek.

Buktinya, dengan sekian efisiensi biaya, tarif transportasi pun bisa semakin murah, dan meningkatkan minat masyarakat kota untuk menggunakan transportasi ini. Sudut ini tidak dilihat pemerintah ketika membuat peraturan atau kebijakan. Sebagian besar kebijakan yang dibuat cenderung selalu bertujuan ‘mengatur’ tanpa membuktikan adanya efisiensi biaya untuk meningkatkan minat penumpang angkota. Parahnya lagi, kebijakan itu membebani rakyat kecil penyedia transportasi angkota dengan biaya dan biaya. Ketika beban biaya ini harus ditanggung penumpang, tak heran banyak yang beralih ke transportasi lain, baik itu transportasi online ataupun transportasi pribadi.

Ada catatan menarik dari Izza Ulya yang pernah ngelakuin riset hukum transportasi di Kota Malang. Bicara tarif, Izza menulis jika sebenernya ada peraturan pemerintah yang berusaha menekan biaya ongkos penumpang, seperti di dalam Peraturan Walikota Malang Nomor 6 Tahun 2015 tentang Tarif Angkot. Di peraturan itu, tarif untuk mahasiswa dan pelajar cuma Rp 2.000,- aja. Dan untuk penumpang umum tarifnya Rp 3.500 . Izza juga cerita panjang lebar dalam tulisannya yang dimuat di Kompasiana, tidak sedikit supir yang melanggar aturan itu bahkan ada pula yang menguras ongkos dengan ngibulin penumpang polos dan lugu yang baru pertama ke Malang (Ulya, 2017). 

Di satu sisi, memang nggak bisa dipungkiri ada peraturan pemerintah yang mencoba memberikan kenyamanan dan kemudahan pada penumpang. Misalnya di Peraturan Menteri nomer 98 tahun 2013 tentang Standar Pelayanan Minimal Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam Trayek. Bisa kita lihat di lampiran peraturan itu semua hal detail angkutan perkotaan diatur. Kalaupun semua diterapkan, mungkin pas sakit perut atau masuk angin kalian pun nggak perlu beli obat karna udah disediakan dalam angkot.

Tapi kembali lagi, peraturan-peraturan dan segala kebijakan yang dibuat pemerintah ini apakah sudah banyak melibatkan rakyat sipil terutama pihak penyedia angkota dan penumpang sendiri? Menurutku nggak. Kalau pun penyedia angkota dilibatkan, nggak mungkin namanya palu dan kotak P3K diwajibkan untuk angkota karna mereka wegah untuk menyisihkan laba mereka (yang mana buat kehidupan sehari-hari) untuk hal-hal sepele yang belum tentu terjadi setiap saat.

Dari sudut ini sekilas sudah bisa kita lihat bahwa kebijakan pemerintah untuk transportasi umum hanya dibuat dari satu sudut pandang, pemerintah itu sendiri. Penumpang, dan penyedia transportasi umum perkotaan hanya sebagai subjek yang harus menerima dan mau dikontrol sesuai standar kenyamanan dan keamanan pemerintah. Padahal kita sendiri belum tau jelas apakah standar pemerintah itu sesuai dengan keinginan masyarakat sipil yang tiap hari berkutat dan mengalami sendiri rasanya naik angkota, ketimbang dengan para pejabat yang seringkali naik Mercedes dan hampir nggak pernah naik angkota.

Titik keterlibatan masyarakat ini yang menjadikan masalah kenyamanan dan efisiensi biaya transportasi awet dari tahun ke tahun. Maka jangan salahkan jika  di kehidupan tahun-tahun selanjutnya geng mobil biru ini akan semakin surut dan dikudeta kejayaannya oleh geng transportasi daring semacam Go-Car, Grab, Uber, dan sebagainya.
Jika saja keterlibatan masyarakat dalam pembuatan kebijakan transportasi umum dioptimalkan, maka saya yakin tidak sedikit warga yang akan memberikan saran. Wong, tidak disuruh terlibat saja sudah banyak tulisan baik dari ilmuwan semacam Radityo Handrito, Taufikurrahman, sampai blogger biasa semacam Izza Ulya dan Dito Arief yang berusaha ngasih rekomendasi terbaiknya. Apalagi jika sebelum kebijakan dibuat, masyarakat dikumpulkan aspirasinya, maka rakyat biasa seperti saya pun ingin bicara banyak.
Mengutip penelitian Najmulmunir (2013: 219) semakin masyarakat diajak berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan, semakin efektif pula kebijakan tersebut dijalankan. Sebab ketika kebijakan berpihak pada kebutuhan masyarakat, maka secara sadar mereka akan menerapkan kebijakan tersebut. Demikian pula dengan mobil angkotan perkotaan. Boleh pemerintah menerapkan segala kebijakan dengan segala iktikad baiknya. Akan tetapi ketika tak ada partisipasi masyarakat disana, ketimpangan sudut pandang terjadi, kebutuhan masyarakat tak terakomodir, dan yang terjadi adalah masalah semakin menjadi. Jika masyarakat baik dari segi penumpang ataupun penyedia transportasi dilibatkan dalam membuat kebijakan, lalu pemerintah menjadi fasilitatornya, saya yakin perbaikan transportasi untuk kesejahteraan bersama bukan lagi hal yang sulit.



Referensi
Menteri Perhubungan Republik Indonesia. (2013). Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia No. 98 Tahun 2013. Menteri Perhubungan Republik Indonesia.
Menteri Perhubungan Republik Indonesia. (2015). Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia No. 133 Tahun 2015. Menteri Perhubungan Republik Indonesia.
Najmulmunir, N. (2013). Pengaruh Partisipasi Masyarakat Terhadap Efektivitas Implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bekasi. Manusia Dan Lingkungan, 213-220.
Ulya, I. (2017, August 28). Implementasi Peraturan Walikota Malang Nomor 6 Tahun 2015 tentang Tarif Angkot. Retrieved March 23, 2018, from Kompasiana: https://www.kompasiana.com/ulyaizza/59a438e0ade2e1630d671052/implementasi-peraturan-walikota-malang-nomor-6-tahun-2015-tentang-tarif-angkot